Abraham Samad Duga Revisi UU KPK Usulan Taufiequrachman Ruki


Abraham Samad Duga Revisi UU KPK Usulan Taufiequrachman Ruki Mantan Ketua KPK Abraham Samad. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Mantan Ketua KPK Abraham Samad menduga revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) diusulkan oleh pelaksana tugas (Plt) Ketua KPK 2015 Taufiequrachman Ruki.

Samad menyatakan tak pernah mengusulkan poin krusial yang ada pada revisi peraturan tersebut di masa kepemimpinannya kala itu.

"Bahwa ini usulan tahun 2015. Kan saya mengalami kriminalisasi dan saya berhenti di tengah jalan. Kemudian dilanjutkan oleh Plt Ruki dan kawan-kawan dari Maret sampai Desember 2015. Sepengetahuan saya, kepemimpinan jilid 3, kita tak pernah punya usulan yang disampaikan itu, saya enggak tahu kalau datang dari Plt [Ruki]," kata Samad dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (7/9).

Melihat hal itu, Samad menjelaskan usulan revisi UU KPK oleh Ruki memiliki cacat hukum karena melampaui kewenangannya yang hanya berstatus sebagai pelaksana tugas ketua KPK.


Sebab, kata dia, pelaksana tugas ketua KPK memiliki batasan dalam menjalankan roda institusi KPK. Ia mengatakan Plt Ketua KPK tak memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan strategis, seperti memberikan usulan revisi UU KPK.

"Kalau usulan datang dari Plt, kalau memang ini benar maka ini menyalahi. Kenapa? Karena Plt punya aturan sendiri enggak boleh keluarkan kebijakan strategis, yang bisa melampaui kewenangan sebagai Plt," kata dia.

"Termasuk misal melakukan rekrutmen pejabat struktural enggak boleh diambil di dalam masa kepemimpinan Plt," tambahnya.

Abraham Samad Duga Revisi UU KPK Usulan Taufiequrachman RukiWakil Ketua KPK Saut Situmorang bersama ratusan pegawai menggelar aksi menolak revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Berkaca pada hal itu, Samad menilai Plt Ketua KPK saat itu menjalankan tugas dengan tidak benar. Ia mengkonfirmasi bahwa pimpinan KPK periode 2015-2019 saat ini juga tak pernah mengusulkan revisi tersebut.

"Oleh karena itu nanti kami akan crosscheck, kita minta pertanggungjawaban dari Ruki," kata dia.

CNNIndonesia.com telah berusaha menghubungi Taufiequrachman Ruki untuk mengonfirmasi hal ini, namun panggilan telepon dan pesan singkat belum dijawab oleh yang bersangkutan.

Di tempat yang sama, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menyebut semua poin strategis yang terkandung dalam revisi UU KPK diusulkan oleh KPK kepada DPR pada November 2015 silam.

"Iya ini, ini [diusulkan KPK], Ini 19 November 2015 dokumen [revisi UU KPK] usulan dari KPK," kata Arteria.

Sebelumnya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan usulan revisi UU KPK telah disepakati Presiden Jokowi, pimpinan KPK, dan akademisi dalam sebuah rapat konsultasi.

"Saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan Presiden, dan Presiden sebetulnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK sesuai dengan permintaan banyak pihak, termasuk pimpinan KPK, para akademisi, dan sebagainya," kata Fahri lewat pesan singkat kepada wartawan, Jumat (6/9).

Di tempat terpisah, Jokowi mengaku belum mengetahui isi revisi UU KPK yang telah disodorkan DPR.

"Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya. Jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa," kata Jokowi di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (5/9).



Share:

Jokowi Diminta Buka Lagi Hasil Penyelidikan TPF Kasus Munir


Jokowi Diminta Buka Lagi Hasil Penyelidikan TPF Kasus Munir Sejumlah aktivis membawa topeng bergambar wajah Munir Said Thalib saat Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 6 September 2018. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

 Mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Usman Hamid menyatakan pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib sebetulnya bukan kasus yang sulit diungkap. Menurutnya, langkah-langkah detail berserta orang yang diduga terlibat sudah lengkap tercantum dalam hasil laporan TPF.

Karena itu, kata Usman, hal pertama yang bisa dilakukan yaitu Presiden Joko Widodo membuka seluruh hasil penyelidikan TPF.

"Karena di sanalah indikasi-indikasi dari keterlibatan sejumlah orang termasuk dugaan keterlibatan lembaga keamanan negara dalam hal ini BIN, itu diperlihatkan. Di dalam laporan itu pula saran-saran kepada pemerintah dan presiden juga dikemukakan," kata Usman Hamid di Jakarta pada Jumat (6/9).

"Baik itu untuk memulai langkah hukum berupa investigasi yang baru atau bahkan melanjutkannya dengan sebuah tim yang independen agar ada penuntasan terhadap kasus pembunuhan Munir," tambahnya.

Perintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF Kasus Munir dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 era Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam poin kesembilan Keppres tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir itu disebut, pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan tim kepada masyarakat.

Selain presiden, dalam kasus ini menurut Usman DPR juga bisa membentuk kembali tim pencari fakta. Langkah ini pernah dilakukan ketika peristiwa pembunuhan Munir baru terjadi pada 2004 silam.

"Saat itu selain tim presiden, DPR ketika itu khususnya Komisi III dan I juga membentuk tim pencari fakta yang di dalam pelaksanaannya juga memanggil sejumlah institusi bahkan mendatangi sejumlah tempat dan lembaga untuk mengumpulkan fakta," ungkap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia tersebut.

Usman juga mengusulkan agar pemerintah Indonesia menjalin kerja sama internasional, jika diperlukan untuk memverifikasi bukti dalam dokumen TPF.

"Saat itu kerja sama internasional sudah terlihat dengan uji forensik ketika jasad Munir untuk pertama kalinya diotopsi dan beberapa organ tubuhnya yang dijadikan sampel telah dianalisa secara toksikologi sehingga bisa diketahui apa penyebab persis kematiannya."

Jokowi Diminta Buka Lagi Hasil Penyelidikan TPF Kasus MunirMantan Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Usman Hamid. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Hanya saja menurut Usman, perlu kemauan politik yang serius dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan langkah tersebut. Ia yakin, jika presiden dan DPR berani maka pemimpin lembaga penegak hukum bakal terdorong melakukan hal serupa.

"Jaksa Agung dapat mengambil langkah misalnya berupa langkah hukum Peninjauan Kembali, atau Kapolri bisa membentuk langkah untuk membentuk tim investigasi yang baru atau membantu kejaksaan agung untuk memperoleh bukti-bukti yang baru," sambung Usman.

Pada 7 September 2004 silam, aktivis HAM Munir Said Thalib tewas dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam. Hasil otopsi menunjukkan Munir tewas karena racun arsenik. Penyelidikan saat itu dilakukan, namun menurut kelompok masyarakat sipil yang menamakan diri Koalisi Keadilan untuk Munir, baru pelaku lapangan yang ditindak.

Proses persidangan kasus pembunuhan Munir menjerat dua orang. Mereka adalah bekas pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto dan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan. Indra divonis setahun penjara, sementara Pollycarpus divonis 14 tahun penjara--dengan remisi total 4 tahun 6 bulan 20 hari.

Istri almarhum Munir, Suciwati mengungkit janji Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa kasus ini adalah salah satu PR pemerintah eranya. Itu sebab ia terus menuntut dalang pembunuh suaminya diungkap.

"Banyak janji tapi tidak ada bukti sampai sekarang. Ini adalah sebuah pemufakatan jahat yang sampai sekarang mungkin penjahatnya lebih kuat sehingga para presiden tidak berani untuk mengungkapnya," kata Suciwati di Kantor Kontras, Jakarta.

Jokowi Diminta Buka Lagi Hasil Penyelidikan TPF Kasus MunirIstri almarhum Munir, Suciwati saat mengikuti aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Suciwati mengungkapkan angka 15 tahun baginya adalah waktu yang lama untuk menunggu kejelasan penuntasan kasus.

"Dan ini merupakan kasus yang terang-benderang, dalam persidangan kita lihat banyak sekali kejanggalan-kejanggalan, bahkan tidak tanggung-tanggung TPF dibuat presiden, DPR juga membuat TPF, rekomendasinya juga sama. Dan ada nama-nama untuk ditindaklanjuti."

Sementara anggota Koalisi Keadilan untuk Munir yang juga Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita berpendapat, kasus Munir bisa dijadikan pijakan untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Ia mengumpamakan, pembungkaman terhadap Munir--yang ia anggap mengetahui banyak informasi juga kritis itu--merupakan cara untuk menutup jalan kebenaran dan keadilan.

"Misalnya Munir waktu itu duduk di KPP HAM Komnas HAM untuk kasus Timor Timur dan mengetahui banyak sekali tentang apa saja yang terjadi pada saat terjadi pembunuhan dan kekerasan di sana pada 1999. Dia bekerja sangat banyak untuk Aceh, untuk Papua, Marsinah, dan untuk kasus-kasus lainnya," kata Galuh.

"Kita punya cukup bahan untuk mengatakan ini serious crime, karena dia seorang human right defender yang bekerja langsung untuk kasus-kasus kejahatan manusia," sambung dia lagi.

Itu sebab, koalisi juga mendorong perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan memasukkan ketentuan khusus mengenai perlindungan pembela HAM. Kebijakan ini mesti ditempuh agar kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM tak berulang.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190907141813-12-428391/jokowi-diminta-buka-lagi-hasil-penyelidikan-tpf-kasus-munir
Share:

KNPB Sebut Kapolri Membalikkan Fakta Masalah Papua


KNPB Sebut Kapolri Membalikkan Fakta Masalah Papua Demo pemuda dan mahasiswa Papua di depan Istana Merdeka, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menanggapi pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait dalang di balik masalah Papua. Ketua Umum KNPB Agus Kossay menyebut Tito telah mengkambinghitamkan organisasinya.

Tito sebelumnya menyebut dalang di balik aksi berujung kerusuhan di Papua dan Papua Barat adalah KNPB dan The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Agus Kossay menyatakan pihaknya tak terima dituduh sebagai aktor intelektual di balik aksi serta bertanggung jawab atas semua perusakan fasilitas dan korban di Papua.

"Komite Nasional Papua Barat melihat pernyataan Kapolri Jendral Tito Karnavian seolah membolak-balikkan fakta yang sebenarnya, kemudian mengkambing hitam KNPB, ULMWP, dan rakyat West Papua yang sedang berjuang hak penentuan nasib sendiri secara damai di West Papua," kata Agus dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (7/9).

KNPB Sebut Kapolri Membalikkan Fakta Masalah PapuaKapolri Jenderal Tito Karnavian di Istana Negara, Jakarta. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Dia mengatakan tudingan Kapolri justru menunjukkan bahwa negara tak mampu mengungkap aktor intelektual perusakan bendera Merah Putih dan tindakan rasisme di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya. Kejadian pada 16 Agustus lalu itu dinilai memicu aksi massa di Papua dan Papua Barat.

"Sampai saat ini aparat penegak hukum belum mengungkapkan pelaku pengerusakan tiang bendera merah putih di depan asrama mahasaiswa Papua dan pelaku pelaku yang melakukan ujaran kebencihan rasisme di surabaya," kata Agus.

Agus mengatakan seharusnya aparat melakukan penegakan hukum secara jujur dan adil. Dia juga mendesak aparat membebaskan semua peserta aksi yang ditahan.

Di tempat terpisah, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan tak menjelaskan secara rinci ketika ditanya terkait pelaku perusakan bendera di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya.

"Sudah ditindaklanjuti, rasisme juga terus kami akan kembangkan, masalah hoaks terus kami akan lakukan, terkait dengan Papua ada dari Kebumen terakhir, ada tiga yang kami tahan," kata Luki saat konferensi pers di Mapolda Jatim, Surabaya, Sabtu (7/9).

Saat berkantor di Jayapura, Tito mengatakan KNPB dan ULMWP bertanggung jawab atas kerusuhan di Papua dan Papua Barat belakangan ini. Atas dasar itu, kata Tito, masyarakat diimbau tak terpengaruh dengan isu-isu yang dikemas untuk membuat rusuh di Papua.

"ULMWP dan KNPB bertanggung jawab terhadap berbagai aksi yang terjadi dan nama-namanya sudah ada, sehingga penegakan hukum akan dilakukan," ujar Tito.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190907151510-12-428401/knpb-sebut-kapolri-membalikkan-fakta-masalah-papua
Share:

Jokowi Bakal Digugat Jika Tak Buka Dokumen TPF Munir


Jokowi Bakal Digugat Jika Tak Buka Dokumen TPF Munir Para demonstran memakai topeng Munir Said Thalib saat mengikuti Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menyatakan bakal melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ombudsman maupun pengadilan. Hal itu dilakukan jika tak kunjung membuka dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.

"Untuk langkah hukum kita bisa saja laporkan presiden ke Ombudsman karena dalam hal ini presiden melakukan malaadministrasi karena sebagai kepala pemerintahan sudah sekian tahun tidak umumkan TPF Munir ke masyarakat," ujar Yati di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (7/9).

Selain melapor ke Ombudsman, Yati juga membuka kemungkinan menggugat ke pengadilan karena kasus Munir tak juga mendapat kepastian hukum setelah 15 tahun berlalu.

"Kita bisa saja ajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena 15 tahun tidak ada kepastian hukum," tuturnya.

Yati mengatakan pembiaran terhadap kasus ini memberikan banyak kerugian bukan hanya kepada keluarga Munir namun juga masyarakat umum. Sementara, menurutnya, Jokowi mestinya dapat dengan mudah membuka dokumen TPF tersebut.

"Kami mengingatkan Presiden Jokowi di periode kedua kepemimpinannya sangat mungkin dan sangat bisa kalau dia punya kemauan dengan cara yang sangat mudah mengumumkan hasil TPF Munir dan menindaklanjuti rekomendasi di dalamnya," katanya.

Jokowi Bakal Digugat jika Tak Buka Dokumen TPF MunirKoordinator Kontras Yati Andriyani (kiri) bersama istri almarhum Munir, Suciwati. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Yati menilai janggal dengan alasan pemerintah yang menyebut dokumen itu hilang. Padahal sejak lama TPF telah memberikan dokumen hasil penyelidikan itu kepada pihak Kementerian Sekretariat Negara. Di sisi lain, dokumen itu cukup mudah dicari di internet.

"Kami saja punya dokumen ini. Kalau memang tidak valid, silakan cek dan silakan diumumkan. Soal validitas pemerintah yang harus membuktikan," ucap Yati.

Dalam dokumen TPF itu telah menjelaskan secara rinci kronologis kasus Munir sejak awal hingga siapa saja pihak yang terlibat. Dokumen itu, kata dia, juga menjabarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah, di antaranya melakukan penyidikan lebih dalam kepada Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan.

"Pemerintah harus mengumumkan ke publik karena ini adalah pesan moral yang penting dari masyarakat sipil. Ini satu alarm buat pemerintah untuk tidak lagi menunda mengumumkan hasil dokumen TPF Munir dan menindaklanjutinya," tuturnya.

Yati sendiri mengaku kecewa dengan sikap Jokowi yang dinilai tak tegas untuk mengusut kasus Munir. Di periode pertama kepemimpinan, Jokowi sempat menjanjikan bakal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus Munir.

Namun di periode yang akan datang, kata Yati, Jokowi justru sama sekali tak menyinggung soal kasus tersebut.

"Buat saya, ini kemunduran dan harusnya presiden sadar betul sehingga di periode pemerintahannya yang kedua, dia harus betul-betul mengevaluasi dan menjadikan persoalan ini sebagai prioritas yang harus diselesaikan," ucapnya.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190907175939-12-428418/jokowi-bakal-digugat-jika-tak-buka-dokumen-tpf-munir
Share:

Suciwati Minta Ma'ruf Ingatkan Jokowi Tuntaskan Kasus Munir


Suciwati Minta Ma'ruf Ingatkan Jokowi Tuntaskan Kasus Munir Suciwati. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)

 Istri mendiang aktivis HAM Munir, Suciwati, meminta Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin mengingatkan Presiden Joko Widodo agar menepati janji menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap suaminya.

Hal ini menyusul janji Jokowi di periode pertama kepemimpinan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus pembunuhan Munir.

"Yang pasti ini kan janjinya presiden. Wakil presidennya ini kan sekarang orang yang ngerti agama, ini mengingatkan kepada presidennya bahwa dia pernah berjanji soal kasus Munir, soal kasus kasus pelanggaran HAM. Janji harus ditepati," ujar Suciwati di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (7/9).

Suciwati mengatakan, kasus Munir sebenarnya tak sulit diungkap karena telah ada dokumen dari Tim Pencari Fakta (TPF) yang menjelaskan secara rinci siapa saja pihak yang terlibat.


Terlebih Jokowi tak punya rekam jejak kasus pelanggaran HAM. Saat ini Jokowi hanya perlu membuka dokumen TPF tersebut dan menindaklanjuti rekomendasinya.

"Kasus ini sudah terang benderang, mengapa susah? Apalagi sejak awal kan presiden tidak punya rekam jejak kasus pelanggaran HAM. Apakah Anda sekarang orang yang kuat, beragama, itu yang diminta. Apakah berani tanggung jawab menuntaskan kasusnya," ucapnya.

Pemerintah sebelumnya tak membuka dokumen TPF kasus Munir dengan alasan hilang. Padahal sejumlah kelompok masyarakat sipil mengklaim dokumen itu dapat dengan mudah diakses di internet.

Dalam dokumen TPF itu telah menjelaskan secara rinci kronologis kasus pembunuhan Munir sejak awal hingga pihak-pihak yang terlibat.

Dokumen itu juga menjabarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti pemerintah di antaranya melakukan penyidikan lebih dalam kepada Indra Setiawan, Ramelga Anwar, AM Hendropriyono, Muchdi PR, dan Bambang Irawan.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190907205928-12-428432/suciwati-minta-maruf-ingatkan-jokowi-tuntaskan-kasus-munir
Share:

Revisi UU, Wakil Ketua Minta Anggaran KPK Ditingkatkan


Revisi UU, Wakil Ketua Minta Anggaran KPK Ditingkatkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang meminta agar revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan tujuan memperkuat anggaran lembaga antirasuah tersebut. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang meminta agar revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bisa memperkuat posisi lembaga antirasuah tersebut dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Salah satu penguatan yang ia minta dilakukan berkaitan dengan perbaikan anggaran untuk memperkuat KPK.

Perbaikan diperlukan karena ia merasa anggaran yang diberikan untuk KPK tidak berbanding lurus dengan pekerjaan yang diberikan.

"Jadi upaya perbaikan itu di uu yang ada sekarang, kasih sumber yang lebih besar. Kami hanya dapat kurang dari Rp1 triliun per tahun untuk mengawasi uang yang Rp2.500 triliun. It doesn't make sense," kata Saut di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (8/9).


Saut optimis, penguatan anggaran bisa membuat KPK segera mengerahkan sumber daya untuk memberantas korupsi. Pasalnya kalau tidak ditingkatkan, KPK akan terbatas dalam melaksanakan pekerjaannya.

"Poin apa sebenarnya yang bisa KPK menjadi tidak bijaksana, KPK menjadi tidak perform, KPK menjadi lebih lemah, KPK menjadi lebih sulit untuk menegakkan keadilan, kebenaran , kejujuran terlebih dalam kaitan dengan tipikor," kata Saut.

Saut mengatakan satu koordinator wilayah (korwil) harus menjangkau pengawasan banyak area di Indonesia. Jumlah anggota KPK di satu korwil disebut kelabakan mengawasi luasnya area.

"Koordinator wilayah yang dipegang oleh lima orang, harus memperhatikan Aceh, harus memperhatikan Sumut, memperhatikan Lampung, memperhatikan Riau. Delapan area diatasi oleh lima orang, jadi bisa dibayangkan," katanya.

Saut mengatakan lebih baikKPK bisa diberi anggaran dan sumber daya yang lebih besar agar bisa menangani ribuan aduan terkaittipikor.


"Dengan uu yang ada perbaikan itu tinggal saya katakan beri saya banyak orang beri saya banyak uang. Saya akan kembangkan resource KPK menjadi lebih berani mengejar tujuh ribu surat pengaduan itu," ujar Saut.

Share:

Saut Situmorang Ingin Presiden Pilih Langsung Pimpinan KPK


Saut Situmorang Ingin Presiden Pilih Langsung Pimpinan KPK Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan agar calon pimpinan KPK nanti dipilih langsung oleh presiden. (CNN Indonesia/M. Andika Putra)

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan agar calon pimpinan KPK nanti dipilih langsung oleh presiden. Saran tersebut ia ungkapkan terkait revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya katakan sekali lagi kalau mau keren, Undang-undang KPK memperkuat itu pimpinannya dengan ditentukan oleh presidennya. Lebih enak," kata Saut di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (8/9).

Saut mengatakan ada beberapa negara yang sudah menerapkan sistem pemilihan pimpinan lembaga antikorupsi dengan dipilih oleh presiden secara langsung. Dengan sistem tersebut, praktis tanggung jawab sepenuhnya terhadap lembaga antikorupsi diberikan kepada presiden.

"Jadi kalau ada apa-apa tinggal presidennya bertanggungjawab," katanya.

Saut juga mengatakan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa terkait 10 nama capim yang telah ditetapkan Panitia Seleksi beberapa waktu lalu.

"Siapapun yang saya bilang kucing merah atau kucing putih yang masuk ya kita tidak bisa masuk ke situ, ini sudah proses politik," katanya.

Akan tetapi, Saut mengatakan agar masyarakat dan pemerintah tetap mengkritik performa calon pimpinan yang nantinya akan dipilih untuk memimpin KPK.

"Siapapun nanti yang akan dipilih kita lihat dia tidak akan pernah bisa sesukanya di sini, dan di sistem nilai KPK sudah jelas, check and balance-nya sudah jelas, Pengawasan Intenal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) sudah jelas," katanya.


Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah DPR RI menyebut revisi UU KPK yang kini telah resmi menjadi usulan inisiatif DPR menawarkan perbaikan terhadap komisi antirasuah tersebut. Tawaran perbaikan terutama diberikan dalam hal perekrutan penyidik dan kewenangan penyadapan.

"Banyak penyidik liar, penyidik yang bekerja insubordinasi, semuanya karena penyidik menganggap dirinya independen dan tidak ada yg awasi. Sadap sendiri, menangkap sendiri, mengintip sendiri, (sampai) menyimpan orang sendiri," tuturFahri.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190908130249-12-428538/saut-situmorang-ingin-presiden-pilih-langsung-pimpinan-kpk
Share:

Ada Pengawas Internal, Saut Tak Setuju Dewan Pengawas KPK


Ada Pengawas Internal, Saut Tak Setuju Dewan Pengawas KPK Koalisi masyarakat sipil dan mahasiswa melakukan aksi simbolik penutupan lambang KPK dengan kain hitam memprotes rencana revisi UU KPK, Minggu (8/9). (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan KPK tidak memerlukan Dewan Pengawas dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaganya. Pernyataan tersebut disampaikan terkait rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam draft revisi, keberadaan Dewan Pengawas KPK rencananya akan diatur. Saut mengatakan KPK tidak memerlukan keberadaan Dewan Pengawas karena sesungguhnya KPK telah memiliki Direktorat Pengawasan Internal (PI).

Ia mengatakan pengawasan internal lebih baik dibandingkan dengan pengawasan eksternal. Dalihnya, pengawas internal lebih mengetahui seluk beluk lembaga secara detail.

"Di dalam modern managements ada yg namanya pengawas internal, internal audit. Itu akan lebih prudent karena pengawas internal ini kan yang mengawasi orang per orang. Pengawas internal itu internal auditnya yang terbagus dia yang paham betul," ujar Saut di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (8/9).


Saut mengatakan dalam pengawasan internal, KPK melibatkan jaksa, penuntut, penyidik hingga penyelidik. "Jadi pengawas internalnya saja yang diperkuat baik itu dengan metode kerja, sistem pengawasan, orang-orangnya, teknologinya, model-modelnya harus lebih jago dari penyidik," kata Saut.

Saut mengatakan pengawasan internal merupakan yang sesungguhnya bagi KPK. Pengawasan eksternal ia nilai tidak mengetahui seluk beluk KPK.

" Itu merupakan check and balances buat KPK sendiri karena dia (pengawas internal) yang tahu sehari hari. Kalau pengawasan dari luar memang tiap hari ngantor," ujarnya.

Dewan Pengawas KPK menurut Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril juga bisa memangkas peran pimpinan KPK hingga memperlambat kinerja lembaga tersebut.

Menurutnya pemangkasan peran dan penurunan kinerja tersebut bisa terjadi karena dalam rancangan yang ada saat ini, Dewan Pengawas nantinya memiliki banyak kewenangan. Kewenangan tersebut antara lain mengatur izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, sampai melaporkan perkara yang belum selesai dalam kurun waktu satu tahun.

Soal Dewan Pengawas KPK diatur dalam Pasal 37 B draf revisi UU KPK. Dalam pasal tersebut dinyatakan Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan, dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Kemudian, dewan pengawas juga bertugas melaksanakan sidang untuk memeriksa dugaan pelangggaran etik, melakukan evaluasi kerja pimpinan, hingga menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik dari pegawai dan pimpinan KPK.

Di pasal 37E Dewan Pengawas dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti halnya pengangkatan Pimpinan KPK, Dewan Pengawas dipilih melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190908135133-12-428545/ada-pengawas-internal-saut-tak-setuju-dewan-pengawas-kpk
Share:

Recent Posts